Investasi Skema Ponzi
Apa beda praktik penipuan investasi emas yang kita alami baru-baru ini dengan investasi skema ponzi model Bernard Madoff di AS?
Prinsipnya
sama saja, berawal dari sikap aji mumpung yang bertemu mental ingin
cepat kaya atau greedy. Dari sisi penawaran dan permintaan, ini sudah
cukup menciptakan penyimpangan perilaku investasi, baik sederhana maupun
canggih. Kasus penipuan investasi emas yang melibatkan Raihan
Jewellery dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) menyita perhatian
publik karena menyeret nama-nama besar. Kasus ini menambah panjang
daftar penipuan berkedok investasi di Indonesia.
Charles Ponzi sumber wikipedia |
Beberapa tahun
lalu, muncul kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (PT QSAR), G Cosmos,
Voucher Key, dan lain-lain. Tak boleh dilupakan kasus Antaboga, disusul
bail out Bank Century. Sebenarnya, penipuan mereka tergolong primitif. Memanfaatkan kekosongan regulasi dan pemahaman investor.
Justru
yang merisaukan, jika hal seprimitif itu pun lolos dari pengamatan
regulator, bagaimana dengan ”penipuan” yang melibatkan teknik dan
metode kuantitatif tingkat lanjut? Madoff dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana menjalankan investasi skema ponzi. Kerugian
yang ditimbulkan lebih dari 50 miliar dollar AS, hampir setengah
cadangan devisa kita saat ini. Pihak yang dirugikan pun bank-bank
terkemuka, seperti HSBC, BNP Paribas, dan Santander (bank terbesar di
Spanyol).
Ada yang menarik dalam persidangan kasus ini. Madoff
yang pemilik Madoff Investment Securities mengatakan, semua negara
mengembangkan sistem ponzi dalam mengelola keuangan publik. Mungkin
fakta di negara maju memang begitu. Sementara masalah kita jauh lebih
sederhana, tipu-menipu dan model korupsi primitif.
Perilaku ekonomi
Istilah
ponzi sebenarnya mengambil nama mafioso Italia yang menetap di AS,
yakni Charles Ponzi, yang menjalankan usaha dengan cara kotor melalui
tipu muslihat untuk menumpuk keuntungan. Pemikir ekonomi beraliran
strukturalis, Hyman Minsky, memaparkan secara teoretis perilaku agen
ekonomi. Ada tiga karakteristik, yaitu mereka yang tergolong hedge, speculative, dan ponzi.
Mereka
digolongkan hedge jika dalam mengelola usaha atau portofolio
kekayaannya cenderung hati-hati dan menghindari risiko berlebihan. Speculative jika
cenderung berani dalam mengambil keputusan sehingga kadang berada pada
situasi berisiko. Sebagai ponzi apabila dengan sengaja membiarkan
dirinya tidak mampu melunasi kewajibannya. Bahkan, jika seluruh asetnya
dijual sekalipun, utang-utangnya tidak akan tertutup.
Meski
bersifat kriminal, investasi skema ponzi ini bermain di wilayah elite
dalam kesadaran masyarakat. Sama seperti GTIS atau QSAR, mereka menjual
nama-nama besar sebagai endorser. Sistem pengelolaannya dibungkus
sedemikian rapi dan sepertinya bonafide. Padahal, skema yang dijalankan
sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mereka menjalankan
usaha dengan teknik pemasaran andal dan progresif sehingga investor
cenderung tergiur membeli. Dalam investasi, sering muncul perilaku
mengekor (herd behavior). Bahkan, di pasar modal yang begitu
maju, terkadang keputusan beli atau jual saham hanya didasari sikap
mengekor. Mengapa bursa kadang mengalami kenaikan atau penurunan
terlalu tajam dari yang semestinya, tak lain adalah faktor sikap
mengekor dari para investor.
Belum lagi kalau alasan utama
melakukan investasi atau mengelola usaha adalah untuk mengeruk untung
sebesar-besarnya dalam waktu secepat-cepatnya. Mereka tak lagi
memperhitungkan risiko karena motif utamanya adalah meraih keuntungan
setinggi-tingginya.
Risiko sistemik
Model-model
kejahatan itu tampaknya sederhana dan kasuistis belaka. Namun, jika
tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan risiko sistemis
berkepanjangan. Kasus Antaboga yang merembet ke Century adalah satu
contoh. Ke depan, hal-hal semacam itu sangat mungkin akan sering terjadi
dalam skala lebih besar, serta lebih rumit. Mengapa? Ada alasan dari
dua sisi, permintaan dan penawaran.
Dari sisi permintaan, dengan
pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen bertahun-tahun ke depan, jumlah
orang kaya dan kelas menengah akan terus bertambah. Jika merujuk
klasifikasi kelas menengah versi Bank Dunia, mereka yang berpendapatan
2-20 dollar AS per hari. Kategori ini terlalu longgar. Jika memakai
penghasilan 6-20 dollar AS, angkanya sekitar 6,5 persen dari total
penduduk pada 2010.
Jumlah kelas menengah dengan kemampuan
investasi relatif tinggi akan terus meningkat seiring booming ekonomi.
Populasi orang sangat kaya (high net worth individual/HNWI) atau
penduduk dengan investasi minimal 1 juta dollar AS memang masih
sedikit.
Menurut Asia Pacific Wealth Report 2012 terbitan Royal
Bank of Canada Wealth Management, baru sekitar 32.000. Namun,
pertumbuhannya tergolong cepat, yakni 23,8 persen 2009-2010. Pada
periode itu, negara lebih maju dari Indonesia pertumbuhan HNWI-nya
lebih rendah. Di Singapura 21,3 persen, Korsel 15,5 persen, Australia
11,1 persen, India 20,8 persen, dan Jepang 5,4 persen.
Mereka
pasti perlu instrumen investasi lebih rumit dan tak lagi puas dengan
bunga tabungan dan deposito. Mereka ini pasar berbagai produk investasi
nonkonvensional. Maka, industri reksadana dan wealth management begitu
menjanjikan di negeri ini.
Di sisi penawaran, ada kecenderungan
terjadi konglomerasi sektor keuangan. Perbankan mulai ekspansi ke
berbagai sektor keuangan lain, seperti pembiayaan, asuransi, sekuritas.
Perbankan di Indonesia termasuk yang paling menguntungkan di seluruh
dunia. Tahun lalu, bank-bank BUMN mengantongi laba Rp 45 triliun. Maka,
mereka melakukan ekspansi ke lembaga keuangan lainnya.
Perkembangan
sisi permintaan dan penawaran ini terjadi dalam situasi regulasi masih
relatif lemah. Sementara tingkat kesadaran investasi masyarakat
cenderung rendah. Kasus Citibank di mana banyak nasabah ternama
menyerahkan begitu saja pengelolaan investasinya ke satu orang menjadi
bukti. Ketika terjadi manipulasi, dampaknya ke mana-mana. Kian berbahaya
jika perilaku aji mumpung terjadi dalam sistem keuangan yang
terkoneksi dalam konglomerasi sektor keuangan.
Gejolak pada satu
sektor bisa cepat menyebar ke sektor lain. Jika sampai ke perbankan,
bisa menimbulkan instabilitas pada perekonomian secara makro. Otoritas
Jasa Keuangan harus sistematis mengantisipasi berbagai perilaku
penyimpangan moral lewat berbagai kedok investasi, dari yang sederhana
hingga yang rumit dalam sebuah sistem investasi berskema ponzi. Masih
ada waktu, sebelum perilaku mereka berevolusi kian rumit dan sulit
dideteksi. Kasus-kasus primitif itu harus secara proaktif diusut dan
diantisipasi.
0 Response to "Investasi Skema Ponzi"
Posting Komentar