Merangkai Potongan Tubuh



 ilustrasi

Tubuh korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, telah ditemukan dalam kondisi tercerai-berai. Praktis, tim SAR pun kesulitan untuk menentukan pemilik dari potongan tubuh ketika dimasukkan ke dalam kantong jenazah.

Tak pelak jika satu kantong jenazah bisa berisi beberapa potongan tubuh dari individu yang berbedabeda. Artinya, satu kantong itu bukan berarti berisi satu jenazah. Oleh karena itu, proses awal identifikasi jenazah harus dimulai dengan memilah potongan jenazah.

Menurut Kepala Divisi Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Mabes Polri, Kombes Polisi Anton Chasela, proses pemilahan dilakukan untuk membedakan potongan tubuh orang asing dan Indonesia. Selanjutnya, potongan tubuh dipilah lagi berdasarkan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.

Pemilahan juga diperlukan untuk mengumpulkan potongan tubuh yang besar sehingga bisa dibedakan secara antopologis maupun anatomi. "Untuk potongan tubuh yang kecil, dibedakan melalui DNA forensik," jelas Anton kepada wartawan, Sabtu (12/5).

Mengumpulkan potongan tubuh yang kecil-kecil itulah yang menjadi tantangan dari proses identifikasi korban. Apabila semuanya berjalan lancar, proses identifi kasi hanya butuh waktu dua pekan. Tapi, bukan berarti dua pekan bisa selesai karena yang perlu diidentifikasi itu sebanyak 45 orang.

Sejauh ini, Tim Disaster Victim Identification (DVI) telah mengumpulkan 35 sampel DNA keluarga korban warga Indonesia, sedangkan sampel DNA keluarga korban warga negara asing masih dalam proses permintaan kepada perwakilan kedutaan besar. Data tersebut sangat diperlukan untuk proses identifi kasi DNA forensik.

Isolasi DNA
Menurut Herawati Sudoyo, peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, proses identifikasi diawali dengan mengisolasi DNA dari jaringan tubuh korban. Proses isolasi DNA ini bisa dilakukan secara random. "Kalau berasal dari jaring tubuh yang kecil, jumlahnya bisa ribuan. Kalau jaringannya besar, jumlahnya bisa ratusan," jelasnya.

Herawati menambahkan, proses isolasi DNA tidak boleh dilakukan bersamaan sehingga memerlukan waktu. Jadi, dilakukan satu per satu. Sebagai contoh, ada 10 jaringan yang harus diidentifikasi, berarti ada 10 kasus yang harus diungkap, maka tidak bisa dilakukan secara bersamaan, apalagi kalau kasus yang ditangani itu karena ledakan dan benturan hebat. Kalau dilakukan secara bersamaan, dikhawatirkan terkontaminasi. "Kendala identifikasi DNA forensik dalam kasus bencana massal lainnya adalah banyaknya sampling yang kemungkinan terkontaminasi," ujarnya.

Selain itu, tes DNA apa yang paling cocok untuk proses identifikasi. "Kita harus bisa memodifikasi dari sampel jaringan yang diterima. Apakah menggunakan inti sel DNA dengan melihat pengulangan yang terjadi atau menggunakan DNA mitokondria dengan melihat urutannya," jelas Herawati.

Setelah diketahui hasil tes DNA itu, bisa ditentukan siapa korban dengan mencocokkan data antemortem-nya. Namun, Tim DVI belum bisa memastikan secara pasti kapan jenazah korban diserahkan kepada keluarganya sebelum proses identifikasi dilakukan secara tuntas. Hal tersebut untuk mencegah kemungkinan ada bagian tubuh yang tertinggal di kantong lainnya.

"Kami bekerja secara ilmiah dan profesional. Moto kami ialah tidak akan mengembalikan potongan jenazah pada keluarga yang salah," pungkas Anton


sumber 


Berita yang sejenis :

Mengidentifikasi Bagian yang Terpisah



Besarnya benturan yang dialami pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Jawa Barat, Rabu (9/5), membuat jasad korban penumpang dan awak pesawat tidak utuh. Identifikasi korban tidak mudah. Untunglah, kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi DNA memungkinkan hal ini.
Hingga Minggu (13/5/2012), lima hari sesudah kecelakaan, baru 19 kantong jenazah bisa dievakuasi dari lokasi bencana. Selain itu, ada juga tiga kantong berisi barang- barang milik korban. Saat kecelakaan, pesawat mengangkut 45 penumpang dan awak.
Belum ditemukan jasad seluruh korban ataupun kondisi korban yang tidak utuh membuat proses identifikasi dipastikan butuh waktu lama.
Direktur Eksekutif Komite Disaster Victim Identification (Identifikasi Korban Bencana) Indonesia Komisaris Besar Anton Castilani di Rumah Sakit Polri R Said Sukanto, Jakarta, Sabtu (12/5), menyatakan butuh ketelitian tinggi agar potongan jasad yang diidentifikasi tidak tertukar.
Secara terpisah, Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Agus Purwadianto, mengatakan, pencocokan potongan tubuh korban yang tidak utuh tidak mudah. Terlebih lagi, potongan jasad ditemukan dalam kondisi terpencar.
Karena itu, pencatatan lokasi penemuan potongan tubuh sebelum dimasukkan dalam kantong jenazah akan sangat membantu proses identifikasi.
Dalam kondisi normal, identifikasi korban biasanya dilakukan menggunakan sidik jari. Teknik ini dapat digunakan untuk jasad yang hampir rusak sekalipun asal kondisi jasad utuh.
Jika teknik sidik jari tak dapat digunakan, identifikasi dilakukan dengan teknik forensik odontologi, yaitu menggunakan gigi. Namun, ini mensyaratkan adanya bagian gigi korban yang ditemukan.
Dalam kasus kecelakaan Sukhoi Superjet 100, Agus melanjutkan, satu-satunya harapan identifikasi korban adalah menggunakan uji forensik deoxyribonucleic acid (DNA). ”Keakuratan cara ini dalam menentukan identitas korban bencana mencapai 99,9 persen,” katanya.
DNA adalah materi pembawa genetik yang diturunkan. Dalam sel manusia, DNA ada dalam inti sel dan mitokondria, yaitu bagian sel di luar inti yang menjadi penyedia energi bagi sel.
DNA dalam inti sel membentuk untaian kromosom. Tiap manusia normal memiliki 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom somatik (terkait ciri tubuh) dan sepasang kromosom seks yang diturunkan dari ayah dan ibu.
Ketua Laboratorium Forensik DNA Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan, jika identifikasi DNA dari inti sel sulit dilakukan, identifikasi dapat dilakukan dari mitokondria.
”Jumlah mitokondria dalam satu sel bisa lebih dari 1.000 buah,” katanya. Namun, sifat yang ditunjukkan DNA mitokondria hanya berasal dari ibu.
Dikelompokkan
Menurut Agus, sebelum uji forensik DNA dilakukan, para ahli forensik akan mengelompokkan potongan tubuh yang diperoleh berdasarkan kesamaan karakter yang terlihat, seperti warna kulit, panjang tulang, dan postur tubuh.
Keberadaan tanda khusus di tubuh korban juga akan membantu, seperti tahi lalat, tanda lahir (toh), gigi gingsul, atau tambalan gigi. Demikian pula informasi tentang benda- benda yang melekat pada korban sebelum kecelakaan, seperti baju dan aksesori yang digunakan.
Selanjutnya, bagian-bagian tubuh yang telah dikelompokkan berdasarkan dugaan identitas fisik seseorang itu akan diambil contohnya untuk menjalani tes DNA. Biasanya, tidak semua potongan tubuh dicek DNA-nya karena tidak efektif dan mubazir.
”Pemeriksaan DNA satu per satu potongan tubuh korban akan membuat biaya uji forensik DNA mahal,” kata Herawati.
Contoh untuk uji forensik DNA dapat diambil dari bagian tubuh mana pun asalkan belum rusak atau masih ada jaringan hidupnya, khususnya jaringan otot. Bagian tubuh yang lebih lambat membusuk adalah pulpa (jaringan) gigi dan sel otot di bagian panggul.
Proses uji DNA sebenarnya hanya membutuhkan waktu satu hari hingga dua hari. Namun, proses pencocokannya yang membutuhkan waktu lama.
Kesesuaian marka genetik
Pola DNA yang diperoleh dengan menggunakan marka short tandem repeat (STR) kemudian dicocokkan dengan data DNA keluarga korban yang diambil sebelumnya. Identifikasi DNA dengan marka STR merupakan prosedur tes DNA yang amat sensitif karena variasinya tinggi.
Pencocokan dilakukan dengan melihat kesesuaian marka genetik dari korban dan keluarga terdekatnya. Jika minimal ada kesesuaian 13 marka genetik, sesuai standar Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat, korban dipastikan memiliki hubungan dengan keluarga tersebut.
Menurut Herawati, jika uji forensik DNA dilakukan 24 jam terus-menerus, diperkirakan butuh sebulan untuk menentukan dan mencocokkan DNA korban dan keluarganya.
”Makin banyak jenazah yang masih bisa dikenali, proses uji DNA-nya akan lebih cepat. Bahkan, bisa dipercepat jadi dua pekan,” ujarnya.
Saat ini, hanya ada dua laboratorium di Indonesia yang dapat melakukan uji forensik DNA, yaitu Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Laboratorium DNA Bidang Kedokteran Kepolisian, Pusat Kedokteran dan Kesehatan, Polri.
Identifikasi jasad korban kecelakaan ini bagai menyusun jigsaw puzzle yang sangat besar. Masalahnya, potongan puzzle yang ada tidak lengkap, sebagian rusak, sebagian lagi hilang. 


0 Response to "Merangkai Potongan Tubuh"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel