Bule Prancis jadi Tukang Gali Sumur di Pulau Sumba
Selama lebih dari 20 tahun, Andre Graff menghabiskan waktunya di langit
pelbagai negara dengan menggunakan balon udara. Namun kini, kehidupannya
berbalik. Dalam upaya mendapatkan air di Pulau Sumba, Andre menggali
tanah sampai dalam. Selama delapan tahun terakhir, lelaki Perancis
berusia 55 tahun ini wira-wiri di salah satu provinsi termiskin di
Nusantara. Di beberapa wilayah Sumba yang padat penduduk, warga harus
berjalan sejauh satu kilometer untuk mencari sumber air bersih. Di
tempat-tempat seperti inilah Andre menggali sumur. Ia pun mesti mencari
cara memompa serta mengalirkan air yang baru temukannya ke desa-desa
terdekat.
Potret kehidupan Andre di Sumba kerap dilakukan beberapa pelancong berjiwa petualang yang datang ke negara-negara berkembang seperti Indonesia dan tergerak hatinya untuk membantu. Upaya mereka membuka kenyataan bahwa pembangunan masih tidak merata. Kemakmuran seperti yang biasa dilihat kaum ekspatriat di Bali dan Jakarta tidak sampai ke pelosok. Andre hidup sendirian di dekat desa Waru Wora di sebuah rumah sederhana terbuat dari bambu beratapkan jerami. Di rumah dua lantai itu, laptop, telepon seluler, dan listrik PLN yang baru terpasang tahun ini, adalah sebuah kemewahan. Andre bekerja sendirian. Upayanya tidak terhubung dengan organisasi atau perusahaan tertentu. Hidupnya bersandar pada uang sewa rumah miliknya di Perancis.
Warga setempat telah menganggap Andre bagian dari mereka. Dan seperti penduduk Sumba lain, ia sering dijangkiti malaria. “Awalnya saya tak berniat datang dan tinggal di sini,” ujarnya kepada Wall Street Journal lewat telepon. “Namun, dalam perjalanan hidup, saya sering bertemu orang yang mengharuskan saya memilih. Saya belajar lebih banyak dari pengalaman hidup delapan tahun di Sumba dibandingkan 47 tahun hidup saya di Eropa.” Problem air bersih di Sumba mencerminkan masalah yang mendera Indonesia secara umum. Kondisi alam Nusantara yang dipisahkan oleh perairan membuat wilayah terpencil sulit merasakan manfaat pembangunan. Desentralisasi kekuasaan yang marak dipraktikkan pasca kejatuhan Suharto memungkinkan pemerintah daerah memiliki kendali lebih besar atas anggaran. Namun, ketimpangan sosial dan pendapatan di tempat-tempat seperti Sumba dan Jawa kian meningkat karena banyak penduduk memilih datang ke pusat-pusat bisnis ketimbang mengembangkan pulau-pulau yang jauh.
Pemerintah marak mencanangkan program pengentasan kemiskinan di Sumba. Selain itu, sejumlah LSM lokal sudah sering mencoba membuat sumur dan penyimpanan air. Namun, program-program itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap warga mendapatkan air bersih. Andre menyebutkan puluhan penampung air yang kosong dan dibuang sembarangan di banyak tempat sebagai bukti atas buruknya perencanaan. Menurutnya beberapa pihak tidak memiliki kesabaran untuk merencanakan program yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Banyaknya penampung air kosong yang berceceran dan terpanggang matahari di wilayah itu menjadi bukti kegagalan sejumlah program itu.
Andre, datang dari daerah hijau Alsace di sebelah timur laut Perancis. Tiba di Sumba pada 2004 saat kariernya sebagai pemilik bisnis balon udara harus terhenti akibat penyakit Lyme. ”Tinggal di Perancis dan menikmati jaminan kesehatan bukan yang saya inginkan,”katanya. Dengan niat menempuh petualangan baru, ia lantas berlibur ke Bali dan mengambil paket perjalanan ke Nusa Tenggara Timur selama tiga minggu dengan kapal laut. “Saya jatuh cinta dengan daerah itu,” ujarnya. “Sedikit demi sedikit, saya jadi tahu kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang yang saya temui. Khususnya kesulitan mendapatkan air bersih.”
Hampir setengah dari rumah tangga di Nusa Tenggara Timur bersandar pada mata air sebagai sumber utama air bersih – angka tertinggi di Indonesia. Untuk mendapatkannya, mereka harus berjalan lebih dari satu kilometer jauhnya ke sungai dan sumber mata air. Pada musim kemarau, aliran air berhenti di beberapa tempat. Sementara itu, banyak kelompok masyarakat yang tak memiliki dana serta kecakapan dalam membangun lebih banyak sumur. Tak hanya masalah air, Sumba memiliki masalah lain seperti buruknya pelayanan dan fasilitas kesehatan serta langkanya aliran listrik. Banyak diantara sekitar 600 ribu penduduk kerap dijangkiti malaria dan tuberculosis.
Andre kembali ke Sumba setahun setelah perjalanannya yang pertama. Di Waru Wora, ia belajar cara membuat sumur sederhana namun kua. Pengetahuan yang ia miliki tentang agronomi dan meteorologi ia manfaatkan untuk mempelajari hal-ihwal air tanah di Sumba. Ia menggali lusinan sumur yang rata-rata membutuhkan biaya antara Rp7 juta hingga Rp15 juta dengan sokongan koperasi yang ia bentuk. Proyek itu menggunakan dana gabungan dari uangnya sendiri, sumbangan yang dikumpulkan di Perancis, dan sokongan pemerintah setempat. Butuh waktu sekitar dua minggu hingga dua bulan untuk membangun sumur. Uang dan lokasi sulit jadi masalah utama. Ia juga harus meminta izin dari pemerintah untuk menjalankan proyek. Dalam bekerja, Andre menggunakan alat-alat miliknya, yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Ia juga membuat cor-coran sumur di rumahnya sendiri.
Pada 2011, ia membangun pompa bertenaga surya untuk mengaliri air langsung ke rumah-rumah milik sekitar 800 orang, prestasi yang menarik minat para pejabat di daerah-daerah tetangga. “Usahanya berhasil,” kata Kornelis Kodi Mete, Bupati Sumba Barat Daya. “Ia telah menjadi bagian masyarakat. Mungkin terdengar aneh untuk orang Jakarta. Tapi dia punya pengaruh positif di sini. Orang-orang menyambutnya ke mana pun ia pergi,”
Andre mengaku bisa bekerja selama 18 jam pada musim kemarau, saat menggali tanah terasa lebih mudah. Di sela-sela pekerjaan, ketika cuaca sedang tidak menentu, ia mengisi waktu dengan mengirim email, bekerja di rumah, dan bergaul. Ia ke Jakarta, Bali, atau Singapura beberapa kali dalam setahun. Namun sudah bertahun-tahun ia tak pulang ke Perancis. Ia kuliah di jurusan biologi di Université Louis-Pasteur, Alsace. Pada akhir tahun 1970an, ia ambil bagian dalam gerakan “kembali ke bumi” dengan berpindah-pindah dari satu pertanian ke pertanian lain di Eropa. Andre kerap berpartisipasi dalam acara kemanusiaan. Dalam salah satu acara, ia berhasil menjadi penerbang balon udara pertama yang mencapai Rumania.
Motivasinya muncul ketika ia melihat hidup tetangganya bisa berubah jika dalam seharian tak mendapatkan air. Ia lebih memilih menyebut dirinya “penduduk Bumi” daripada warga Perancis. Ketika menyaksikan ada hidup yang berubah, ia menamai kesenangan itu “pengalaman puitis.” Ia lebih realistis ketika berbicara tentang usahanya di Sumba. “Kesempurnaan bukanlah tujuan. Kita takkan pernah mendapatkan situasi ideal di mana pun. Tak ada satu pun tempat di dunia yang bisa menyelesaikan problem air bersih.” Andre tak punya rencana khusus untuk tinggal selamanya di Sumba. Ia juga tak memiliki rencana untuk hengkang dari tempat itu. Namun, menurutnya, ada cukup alasan untuk tetap beralamatkan hutan dalam dua tahun ke depan. “Ketika muda, saya berpikir layaknya anak muda, yakni memiliki karier,” ujarnya. “Kini, saya rasa lebih menyenangkan jika membiarkan hidup berjalan apa adanya.”
sumber
Potret kehidupan Andre di Sumba kerap dilakukan beberapa pelancong berjiwa petualang yang datang ke negara-negara berkembang seperti Indonesia dan tergerak hatinya untuk membantu. Upaya mereka membuka kenyataan bahwa pembangunan masih tidak merata. Kemakmuran seperti yang biasa dilihat kaum ekspatriat di Bali dan Jakarta tidak sampai ke pelosok. Andre hidup sendirian di dekat desa Waru Wora di sebuah rumah sederhana terbuat dari bambu beratapkan jerami. Di rumah dua lantai itu, laptop, telepon seluler, dan listrik PLN yang baru terpasang tahun ini, adalah sebuah kemewahan. Andre bekerja sendirian. Upayanya tidak terhubung dengan organisasi atau perusahaan tertentu. Hidupnya bersandar pada uang sewa rumah miliknya di Perancis.
Warga setempat telah menganggap Andre bagian dari mereka. Dan seperti penduduk Sumba lain, ia sering dijangkiti malaria. “Awalnya saya tak berniat datang dan tinggal di sini,” ujarnya kepada Wall Street Journal lewat telepon. “Namun, dalam perjalanan hidup, saya sering bertemu orang yang mengharuskan saya memilih. Saya belajar lebih banyak dari pengalaman hidup delapan tahun di Sumba dibandingkan 47 tahun hidup saya di Eropa.” Problem air bersih di Sumba mencerminkan masalah yang mendera Indonesia secara umum. Kondisi alam Nusantara yang dipisahkan oleh perairan membuat wilayah terpencil sulit merasakan manfaat pembangunan. Desentralisasi kekuasaan yang marak dipraktikkan pasca kejatuhan Suharto memungkinkan pemerintah daerah memiliki kendali lebih besar atas anggaran. Namun, ketimpangan sosial dan pendapatan di tempat-tempat seperti Sumba dan Jawa kian meningkat karena banyak penduduk memilih datang ke pusat-pusat bisnis ketimbang mengembangkan pulau-pulau yang jauh.
Pemerintah marak mencanangkan program pengentasan kemiskinan di Sumba. Selain itu, sejumlah LSM lokal sudah sering mencoba membuat sumur dan penyimpanan air. Namun, program-program itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap warga mendapatkan air bersih. Andre menyebutkan puluhan penampung air yang kosong dan dibuang sembarangan di banyak tempat sebagai bukti atas buruknya perencanaan. Menurutnya beberapa pihak tidak memiliki kesabaran untuk merencanakan program yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Banyaknya penampung air kosong yang berceceran dan terpanggang matahari di wilayah itu menjadi bukti kegagalan sejumlah program itu.
Andre, datang dari daerah hijau Alsace di sebelah timur laut Perancis. Tiba di Sumba pada 2004 saat kariernya sebagai pemilik bisnis balon udara harus terhenti akibat penyakit Lyme. ”Tinggal di Perancis dan menikmati jaminan kesehatan bukan yang saya inginkan,”katanya. Dengan niat menempuh petualangan baru, ia lantas berlibur ke Bali dan mengambil paket perjalanan ke Nusa Tenggara Timur selama tiga minggu dengan kapal laut. “Saya jatuh cinta dengan daerah itu,” ujarnya. “Sedikit demi sedikit, saya jadi tahu kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang yang saya temui. Khususnya kesulitan mendapatkan air bersih.”
Hampir setengah dari rumah tangga di Nusa Tenggara Timur bersandar pada mata air sebagai sumber utama air bersih – angka tertinggi di Indonesia. Untuk mendapatkannya, mereka harus berjalan lebih dari satu kilometer jauhnya ke sungai dan sumber mata air. Pada musim kemarau, aliran air berhenti di beberapa tempat. Sementara itu, banyak kelompok masyarakat yang tak memiliki dana serta kecakapan dalam membangun lebih banyak sumur. Tak hanya masalah air, Sumba memiliki masalah lain seperti buruknya pelayanan dan fasilitas kesehatan serta langkanya aliran listrik. Banyak diantara sekitar 600 ribu penduduk kerap dijangkiti malaria dan tuberculosis.
Andre kembali ke Sumba setahun setelah perjalanannya yang pertama. Di Waru Wora, ia belajar cara membuat sumur sederhana namun kua. Pengetahuan yang ia miliki tentang agronomi dan meteorologi ia manfaatkan untuk mempelajari hal-ihwal air tanah di Sumba. Ia menggali lusinan sumur yang rata-rata membutuhkan biaya antara Rp7 juta hingga Rp15 juta dengan sokongan koperasi yang ia bentuk. Proyek itu menggunakan dana gabungan dari uangnya sendiri, sumbangan yang dikumpulkan di Perancis, dan sokongan pemerintah setempat. Butuh waktu sekitar dua minggu hingga dua bulan untuk membangun sumur. Uang dan lokasi sulit jadi masalah utama. Ia juga harus meminta izin dari pemerintah untuk menjalankan proyek. Dalam bekerja, Andre menggunakan alat-alat miliknya, yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Ia juga membuat cor-coran sumur di rumahnya sendiri.
Pada 2011, ia membangun pompa bertenaga surya untuk mengaliri air langsung ke rumah-rumah milik sekitar 800 orang, prestasi yang menarik minat para pejabat di daerah-daerah tetangga. “Usahanya berhasil,” kata Kornelis Kodi Mete, Bupati Sumba Barat Daya. “Ia telah menjadi bagian masyarakat. Mungkin terdengar aneh untuk orang Jakarta. Tapi dia punya pengaruh positif di sini. Orang-orang menyambutnya ke mana pun ia pergi,”
Andre mengaku bisa bekerja selama 18 jam pada musim kemarau, saat menggali tanah terasa lebih mudah. Di sela-sela pekerjaan, ketika cuaca sedang tidak menentu, ia mengisi waktu dengan mengirim email, bekerja di rumah, dan bergaul. Ia ke Jakarta, Bali, atau Singapura beberapa kali dalam setahun. Namun sudah bertahun-tahun ia tak pulang ke Perancis. Ia kuliah di jurusan biologi di Université Louis-Pasteur, Alsace. Pada akhir tahun 1970an, ia ambil bagian dalam gerakan “kembali ke bumi” dengan berpindah-pindah dari satu pertanian ke pertanian lain di Eropa. Andre kerap berpartisipasi dalam acara kemanusiaan. Dalam salah satu acara, ia berhasil menjadi penerbang balon udara pertama yang mencapai Rumania.
Motivasinya muncul ketika ia melihat hidup tetangganya bisa berubah jika dalam seharian tak mendapatkan air. Ia lebih memilih menyebut dirinya “penduduk Bumi” daripada warga Perancis. Ketika menyaksikan ada hidup yang berubah, ia menamai kesenangan itu “pengalaman puitis.” Ia lebih realistis ketika berbicara tentang usahanya di Sumba. “Kesempurnaan bukanlah tujuan. Kita takkan pernah mendapatkan situasi ideal di mana pun. Tak ada satu pun tempat di dunia yang bisa menyelesaikan problem air bersih.” Andre tak punya rencana khusus untuk tinggal selamanya di Sumba. Ia juga tak memiliki rencana untuk hengkang dari tempat itu. Namun, menurutnya, ada cukup alasan untuk tetap beralamatkan hutan dalam dua tahun ke depan. “Ketika muda, saya berpikir layaknya anak muda, yakni memiliki karier,” ujarnya. “Kini, saya rasa lebih menyenangkan jika membiarkan hidup berjalan apa adanya.”
sumber
0 Response to "Bule Prancis jadi Tukang Gali Sumur di Pulau Sumba"
Posting Komentar